Selasa, 01 April 2014

Barokah



(Ilustrasi : nurlienda.wordpress.com)

Oleh : RSP With Darrel Kara Danadyaksa Putra
 
mudah-mudahan sing barokah”, itulah ungkapan yang sering diucapkan orang ketika mendapat rezeki. Kebanyakan orang memaknai berkah dengan sesuatu yang bersifat berlipat ganda secara nilai, padahal bila merujuk pada pengertian utuh, “berkah” memiliki dimensi yang sangat luas. Dimensi-dimensi berkah berkaitan dengan segala aspek ketauhidan serta hukum-hukum syar’i, karena “keberkahan” dari setiap rezeki tidak bisa dilepaskan dari syarat dan hukum-hukum syar’i mengenai bagaimana mendapatkan rezeki yang baik menurut ajaran Islam. Disamping itu, makna “berkah” juga sangat berkaitan dengan dimensi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, karena seseorang yang dibentengi dengan keimanan dan ketakwaan tentunya akan berpikir seribu kali bila harus mendapatkan rezeki dengan cara yang diharamkan oleh Allah lewat hukum-hukum syar’i.
            Pengertian secara bahasa, “al-barakah” berarti berkembang, bertambah dan bahagia (Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumi 1/45, al-Qamus al-Munith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur 10/395). Sama halnya dengan pengertian secara bahasa, dalil-dalil dalam Al-Quran dan as-Sunnah memiliki pengertian yang sama. Tetapi “berkembang, bertambah” dalam pengertian baik itu secara bahasa ataupun makna dalil dalam Al-Quran dan as-Sunnah tidak boleh dipahami secara rill karena makna “berkembang, bertambah dan bahagia” memiliki dimensi yang tidak terbatas yang akan dialami oleh setiap manusia. Bila saja ada seorang yang kaya, rezekinya mengalir dari mana saja karena memiliki berbagai perusahaan, tiap tahun bertambah dan berkembang, tetapi pertanyaannya apakah dia bahagia dengan harta yang terus berkembang dan bertambah?. Kalau kemudian si kaya raya tersebut memiliki penyakit yang membuat dirinya tidak memikmati kekayaannya, kalau si kaya raya tersebut memilik anak yang durhaka, nakal, selalu berfoya-foya dengan harta orang tuanya dan selalu melawan pada  orang tuanya, atau karena terlalu sibuk mengurus berbagai perusahaannya si kaya raya tersebut hari-harinya selalu resah, galau dan banyak pikiran sehingga secara tidak sadar si kaya raya tersebut tidak sempat menikmati kebahagiaan dari harta-hartanya itu. Maka dari kasus ini kita bisa melihat bahwa bertambahnya harta dan berkembangnya harta tidak ada korelasinya dengan kebahagiaan seseorang.
            Lalu kemudian bandingkan dengan kisah seorang pedagang kaki lima yang penghasilannya kecil tetapi kehidupannya tenang, bisa menikmati apapun karena tidak punya penyakit, anak-anaknya menjadi pribadi yang taat. Usahanya yang sederhana tidak membuat banyak aktifitas dan pikiran, rezeki yang dihasilkan cukup untuk menafkahi anak dan istrinya, walaupun tidak banyak sisa untuk ditabung, si pedaganng tersebut sudah merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika mendapatkan keuntungan yang cukup dari hasil dagang untuk diberikan kepada anak istrinya dirumah. Setiap malam menikmati waktu senggang dengan segelas kopi dan dan singkong goreng.
            Kalau kita bandingkan kedua kisah diatas, kita bisa melihat gambaran bagaimana sebenarnya implementasi “barokah” yang sesungguhnya. Berkembang dan bertambahnya harta tidak selalu identik dengan “kebarokahan”, tetapi berkembang dan bertambah memiliki dimensi atau ujung pangkal yang lain yakni kebahagiaan. Untuk itu marilah kita kekang ambisi untuk mendapatkan harta yang melimpah, ambisi yang tidak terkontrol akan membuat orang berusaha dengan berbagai cara, korupsi, suap, menipu, memanipulasi adalah sedikit contoh usaha yang menambah harta tetapi menghilangkan kebarokahannya karena usahanya melanggar hukum-hukum Allah. Jadilah seperti si pedagang kaki lima, tidak ambisi, usahanya halal tetapi berkembang dan bertambah dengan kebahagiaan dan ketenangan jiwa, itulah “barokah”.
           
   Wallahualam bishawab

Minggu, 02 Maret 2014

Hati-Hati dengan HATI!





(Ilustrasi : 3.bp.blogspot.com)


Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

Manusia tidak luput dari salah, tidak ada manusia yang sempurna”, atau “manusia tempat salah dan khilaf”, itulah kiranya dua ungkapan atau istilah yang sering terucap dalam menggambarkan betapa sosok manusia adalah sosok yang lemah, punya kecenderungan yang besar untuk berbuat salah dan khilaf. Terkadang kelemahan manusia itu sendiri sering dijadikan sebuah pembenaran, sehingga tidak jarang seorang manusia seakan tidak mau belajar dari kesalahannya sendiri, tidak mau introspeksi. “Tidak ada manusia yang sempurna”, dalam kalimat itulah terkadang manusia berlindung dari kesalahan-kesalahannya.
            Didalam kehidupan dunia, sudah ketentuan Allah SWT manusia dihadapkan pada dua pilihan, dua jalan atau dua bisikan, yakni jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Semenjak Iblis tidak mau bersujud kepada Adam sesuai dengan perintah Allah SWT, dan menjadi makhluk terkutuk yang berjanji akan menyesatkan manusia hingga ingkar daripada jalan kebenaran, ingkar dari perintah dan larangan Allah SWT kemudian semenjak Adam dan Hawa diturunkan oleh Allah SWT dari Surga karena bujuk rayu Iblis, maka sampai hari kiamat pula iblis menjadi musuh yang nyata manusia, musuh yang selalu berkomitmen mengajak manusia kedalam kesesatan, membujuk dan merayu agar sama-sama satu barisan dalam menentang segala jalan kebenaran agama yang bersumber dari Allah SWT lewat Al-Quran, Hadist dan Sunnah.
            Dalam rangka itu, iblis, setan dan bala tentaranya tidak lelah dan terus mencari titik kelemahan manusia yang mudah ditaklukan. Salah satu titik lemah manusia ada dalam hati, karena hati merupakan nahkoda atau setirnya jiwa dan raga, pengendali dari semua tindakan manusia. Untuk itulah dalam hati manusia selalu dua kekuatan yang saling berperang, kekuatan yang menyeru pada kebaikan dan kekuatan yang menyeru kepada keburukan dan kesesatan. Seruan kebaikan bersumber dari perintah dan larangan yang digariskan oleh Allah SWT lewat ajaran agama, dan seruan keburukan/kesesatan bersumber dari iblis, setan dan bala tentaranya. Dalam prosesnya, ada manusia yang bisa memerangi seruan iblis, setan dan bala tentaranya, ada manusia yang tidak bisa memeranginya, artinya manusia yang kalah dan menyerah pada seruan iblis, setan dan bala tentaranya sehingga hatinya selalu condong pada keburukan, kesesatan, dan itu semua dimanifestasikan lewat tindakan yang sifatnya mengingkari  apa-apa yang diperintahkan dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh Allah SWT lewat ajaran agama. Iblis, setan dan bala tentaranya selalu bercokol dalam hati manusia, menyeru pada pemuasan hawa nafsu dan kebatilan. Inilah sumber dan sebab-musabab kenapa manusia punya kecenderungan untuk berbuat salah. Disamping sosok manusia yang diciptakan sesuai dengan ketentuan Allah SWT adalah sosok yang lemah dengan segala kekurangannya, ditambah pula dengan bujuk rayu iblis, setan dan bala tentaranya yang selalu bersemayam dalam hati manusia dalam menyeru kepada jalan yang sesat. Untuk itulah kenapa manusia dianjurkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Rabb-nya, Allah SWT, meminta kekuatan dan petunjuk dari-Nya guna menangkal godaan-godaan iblis dan setan dalam hati manusia.
            Niscaya, orang yang tidak mau mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, memohon kekuatan dan petunjuk dari-Nya, dia adalah orang yang menjadi sasaran empuk iblis, setan dan bala tentaranya sehingga dengan mudah hatinya dapat ditaklukan oleh seruan-seruan yang menyesatkan. Berbeda dengan orang yang selalu mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya, meminta pertolongan, kekuatan dan petunjuk dari sang Khalik, maka hatinya akan memiliki tameng dalam menahan seruan kesesatan dari iblis dan setan, dan iblis, setan akan memerlukan tenaga ekstra untuk membujuk hatinya.
            Untuk itulah kenapa Nabi Muhammad SAW bersabda, “ sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumbal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula tubuh manusia itu, tapi bila segumpal daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia itu, segumpal daging itu adalah Qalbu (hati)” (HR. Bukhari Muslim)
            Inilah hati manusia, bila diibaratkan, hati merupakan benteng pertahanan manusia, bila benteng itu roboh oleh musuh maka musuh dapat dengan mudah menguasai isinya, tapi bila benteng itu kokoh maka musuh akan sulit menguasai isinya, yakni imannya manusia. Dalam sebuah hadits marfu' dari Anas disebutkan, "Tidak lurus keimanan seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak lurus hati seseorang sebelum lurus lisannya." (HR. Ahmad).
wallahualam bishawab

Hakekat Ilmu



 (Ilustrasi : ahmadmuaiminalfarisy.wordpress.com)


Setiap orang tua tentunya mendambakan anak-anaknya berpendidikan tinggi, memiliki banyak ilmu dengan harapan ilmu yang diperoleh si anak dapat menunjang masa depannya. Tak jarang, demi menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi, orang tua rela banting tulang, menyisihkan sebagian besar pendapatannya untuk menabung dengan mengurangi kebutuhan pokok, bahkan terkadang orang tua rela pontang-panting kesana-kemari mencari pinjaman untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Bangga rasanya, ketika orang tua melihat anak-anaknya menggunakan seragam Toga dalam Wisuda, berharap gelar sarjana yang disandangnya dapat menjadi bekal yang dapat menjamin kehidupan anak dan keluarganya di masa depan. Bahkan bagi orang tua yang tergolong mampu, tak sedikit yang memfasilitasi anak-anaknya untuk mengikuti berbagai macam les, seperti les bahasa inggris, les berenang, les bermain piano dan  berbagai macam sarana penunjang pendidikan dengan harapan dapat membangkitkan potensi dan bakat si anak.
Tetapi, dijaman ini, dimana segala sesuatu dicapai berdasarkan ukuran materi, maka orientasi pendidikan, atau orientasi dalam proses mencari ilmu pun ikut berubah. Pendidikan atau proses pencarian ilmu kini dimaknai kemanfaatannya hanya sebatas proses untuk mendapatkan cita-cita duniawi. Jika orang tua ditanya, “untuk apa mereka rela berkorban demi membiayai pendidikan anak-anaknya”, pastilah jawaban klasik yang keluar adalah “agar kelak masa depan anak-anaknya lebih baik dari orang tuanya, agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, agar bisa meningkatkan taraf ekonomi dan kehormatan keluarganya” . itulah ukuran ilmu sekarang.
Banyak dari kita yang lupa, bahwa hakekat ilmu seharusnya jauh melintasi ukuran-ukuran dunia, lalu bagaimana kita memandang ilmu berdasarkan kemanfaatan sejati yang akan mengantarkan seorang anak menjadi anak yang punya moral, punya iman, anak yang teguh dalam prinsip-prinsip dan ajaran agama, anak yang mempunyai budi pekerti atau akhlak yang baik karena orang tuanya istoqomah mendorong anak-anaknya untuk mau tekun belajar agama disamping mempelajari ilmu-ilmu dunia. Padahal hakekat sejati kebanggaan orang tua kepada sang anak adalah kebanggaan dimana anak-anaknya kelak menjadi anak yang soleh/solehah, anak-anak yang dihormati oleh orang lain, tetangga-tetangganya karena keluhuran ilmu agama dan ke-istiqomahannya dalam tataran praktenya dan kesungguhannya dalam mengamalkan ilmunya, bukan dihormati karena kekayaan dan jabatannya.
“Ya Allah, berilah aku manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah untukku ilmu. Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan dan aku berlindung kepada Allah dari keadaan penduduk neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 3599). Hadist ini mengingatkan kita bahwa pada hakekatnya ilmu harus punya manfaat, manfaat dalam pengertian bahwa ilmu tidak hanya didudukan sebagai jalan untuk mengejar ambisi-ambisi atau cita-cita keduniaan yang bersifat pribadi, tetapi ilmu harus berbanding lurus dengan kemanfaatan sosial, dimana ilmu agamalah yang akan menjadi penyeimbang, sehingga titik keseimbangan ketika ilmu bermanfaat bagi kehidupan dunia, dan juga bermanfaat dikehidupan akhirat kelak.
wallahualam bishawab

Fatamorgana Pahala

(Ilustrasi : cdn.angiesdiary.com)




 Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

Bila sebelumnya penulis menulis tentang fatamorgana dunia yang bersifat ilusi, fantasi dan menipu manusia. Dalam tulisan ini penulis mencoba membawa istilah “fatamorgana” kedalam proses atau perjalanan manusia ke alam keabadian, yakni akhirat. Akhirat adalah titik akhir perjalanan manusia, kehidupan yang sebenarnya dari setiap manusia. Bagi orang-orang beriman yang mengerti akan hakikat penciptaannya, akan menyadari bahwa dunia hanya persinggahan sementara dalam mencari bekal kemudian tinggal menunggu waktu, dijemput oleh malaikat maut menuju yaumul hisab, yakni hari dimana diperhitungkannya amalan tiap-tiap manusia, hari penentuan apakah seorang manusia menjadi ahli surga atau ahli neraka. Maka dari itu orang-orang beriman akan selalu melakukan ketaatan-ketaatan, amalan-amalan yang akan mengisi catatan amalnya dengan pahala kebaikan, tetapi jangan sampai menjadi fatamorgana pahala.
            Bila pembaca lupa dengan pengertian fatamorgana, fatamorgana merupakan sesuatu yang bersifat angan-angan, harapan, fantasi, ilusi bahkan menipu. Dalam hal ini, tentunya pahala kebaikan dari setiap ketaatan dan amalan akan menjadi harapan bahwa pahala dari amalan-amalan tersebut akan membawa dirinya pada keselamatan di akhirat. Tetapi  kita sebagai manusia yang punya kelemahan, punya fitrah yang membawa kecenderungan yang besar terhadap pemuasan hawa nafsu, dan rentan menjadi objek tipu daya setan  harus wasapada, harus muncul sikap kritis terhadap diri kita sendiri, sehingga muncul sebuah pertanyaan, apakah  ketaatan-ketaatan dan amalan-amalan saya selama ini dikerjakan akan menjadi pahala, apakah akan diterima oleh Allah SWT sebagai catatan baik saya? Pertanyaan ini akan membawa kita pada sikap muhasabah, introspeksi diri sehingga akan membawa pada sikap hati-hati dalam melakukan ketaatan dan amalan-amalan.
            Kehati-hatian dalam melakukan setiap ketaatan terhadap Allah SWT dan amalan-amalan kebaikan akan memunculkan bebetapa pertanyaan lagi, apakah sholat saya ini diniatkan dengan hati yang ikhlas?  Apakah sholat saya ini ada korelasinya dengan kesalehan sosial? Apakah sholat saya ini membangkitkan sifat santun, murah senyum, sikap rendah hati terhadap orang lain? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih peka terhadap kesulitan atau penderitaan yang dialami oleh orang lain? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih mudah bersedekah? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih meninggalkan dunia?, atau  Apakah sedekah saya ini tidak diikuti dengan sikap riya? Apakah sedekah saya ini ikhlas semata-mata untuk penilaian Allah atau hanya mengejar penilaian manusia semata?  Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan membuat kita hati-hati akan tipu daya setan.
            Tidak sedikit orang yang merasa sudah sangat cukup akan pahalanya, merasa puas dengan ketaatan dan amalan-amalan baiknya, bahkan merasa bangga dengan predikat orang yang taat dan alim yang melekat pada dirinya, sehingga cenderung menyepelekan ketaatan dan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang lain. Padahal bukan tidak mungkin ketaatan tersebut tidak membuahkan pahala karena mungkin sholatnya tidak punya korelasi dengan kesalehan sosialnya, sholatnya tidak membuat sikap egois dan sombongnya hilang, sholatnya tidak membuat sifat kikir dan bakhil-nya hilang, sholatnya tidak membuat hatinya peka terhadap kesulitan dan penderitaan saudaranya atau tetangganya, sholatnya tidak membuat dirinya menjadi ahli sedekah, sholatnya tidak meenjauhkannya dari keduniaan, justru semakin mendekati dunia, dan sedekahnya masih “haus” akan penilaian dan pujian manusia. Maka inilah yang dimaksud dengan fatamorgana pahala.
            “katakanlah, “apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi 103-104).
Ayat ini memberikan peringatan bagi kita, bahwa setiap ketaatan dan amalan harus mempunyai nilai dihadapan Allah SWT, bukan nilai dihadapan sesama mahkluk. Setiap ketaatan dan perbuatan yang kita anggap akan mendatangkan pahala, harus punya implikasi atau dampak terhadap kehidupan sosial, karena ketataan dan amalan dalam ajaran Islam mempunyai dua dimensi, yakni hablum minallah dan hablum minannas. Hablum minallah ketaatan dan amalan yang berdimensi langsung kepada Allah SWT, dan hablum minannas ketaatan dan amalan yang berimplikasi dan berdimensi kepada sesama manusia, bisa saudara, tetangga, sahabat dan orang-orang yang ada disekitar kita.
 wallahualam bishawab