Minggu, 02 Maret 2014

Fatamorgana Pahala

(Ilustrasi : cdn.angiesdiary.com)




 Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

Bila sebelumnya penulis menulis tentang fatamorgana dunia yang bersifat ilusi, fantasi dan menipu manusia. Dalam tulisan ini penulis mencoba membawa istilah “fatamorgana” kedalam proses atau perjalanan manusia ke alam keabadian, yakni akhirat. Akhirat adalah titik akhir perjalanan manusia, kehidupan yang sebenarnya dari setiap manusia. Bagi orang-orang beriman yang mengerti akan hakikat penciptaannya, akan menyadari bahwa dunia hanya persinggahan sementara dalam mencari bekal kemudian tinggal menunggu waktu, dijemput oleh malaikat maut menuju yaumul hisab, yakni hari dimana diperhitungkannya amalan tiap-tiap manusia, hari penentuan apakah seorang manusia menjadi ahli surga atau ahli neraka. Maka dari itu orang-orang beriman akan selalu melakukan ketaatan-ketaatan, amalan-amalan yang akan mengisi catatan amalnya dengan pahala kebaikan, tetapi jangan sampai menjadi fatamorgana pahala.
            Bila pembaca lupa dengan pengertian fatamorgana, fatamorgana merupakan sesuatu yang bersifat angan-angan, harapan, fantasi, ilusi bahkan menipu. Dalam hal ini, tentunya pahala kebaikan dari setiap ketaatan dan amalan akan menjadi harapan bahwa pahala dari amalan-amalan tersebut akan membawa dirinya pada keselamatan di akhirat. Tetapi  kita sebagai manusia yang punya kelemahan, punya fitrah yang membawa kecenderungan yang besar terhadap pemuasan hawa nafsu, dan rentan menjadi objek tipu daya setan  harus wasapada, harus muncul sikap kritis terhadap diri kita sendiri, sehingga muncul sebuah pertanyaan, apakah  ketaatan-ketaatan dan amalan-amalan saya selama ini dikerjakan akan menjadi pahala, apakah akan diterima oleh Allah SWT sebagai catatan baik saya? Pertanyaan ini akan membawa kita pada sikap muhasabah, introspeksi diri sehingga akan membawa pada sikap hati-hati dalam melakukan ketaatan dan amalan-amalan.
            Kehati-hatian dalam melakukan setiap ketaatan terhadap Allah SWT dan amalan-amalan kebaikan akan memunculkan bebetapa pertanyaan lagi, apakah sholat saya ini diniatkan dengan hati yang ikhlas?  Apakah sholat saya ini ada korelasinya dengan kesalehan sosial? Apakah sholat saya ini membangkitkan sifat santun, murah senyum, sikap rendah hati terhadap orang lain? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih peka terhadap kesulitan atau penderitaan yang dialami oleh orang lain? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih mudah bersedekah? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih meninggalkan dunia?, atau  Apakah sedekah saya ini tidak diikuti dengan sikap riya? Apakah sedekah saya ini ikhlas semata-mata untuk penilaian Allah atau hanya mengejar penilaian manusia semata?  Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan membuat kita hati-hati akan tipu daya setan.
            Tidak sedikit orang yang merasa sudah sangat cukup akan pahalanya, merasa puas dengan ketaatan dan amalan-amalan baiknya, bahkan merasa bangga dengan predikat orang yang taat dan alim yang melekat pada dirinya, sehingga cenderung menyepelekan ketaatan dan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang lain. Padahal bukan tidak mungkin ketaatan tersebut tidak membuahkan pahala karena mungkin sholatnya tidak punya korelasi dengan kesalehan sosialnya, sholatnya tidak membuat sikap egois dan sombongnya hilang, sholatnya tidak membuat sifat kikir dan bakhil-nya hilang, sholatnya tidak membuat hatinya peka terhadap kesulitan dan penderitaan saudaranya atau tetangganya, sholatnya tidak membuat dirinya menjadi ahli sedekah, sholatnya tidak meenjauhkannya dari keduniaan, justru semakin mendekati dunia, dan sedekahnya masih “haus” akan penilaian dan pujian manusia. Maka inilah yang dimaksud dengan fatamorgana pahala.
            “katakanlah, “apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi 103-104).
Ayat ini memberikan peringatan bagi kita, bahwa setiap ketaatan dan amalan harus mempunyai nilai dihadapan Allah SWT, bukan nilai dihadapan sesama mahkluk. Setiap ketaatan dan perbuatan yang kita anggap akan mendatangkan pahala, harus punya implikasi atau dampak terhadap kehidupan sosial, karena ketataan dan amalan dalam ajaran Islam mempunyai dua dimensi, yakni hablum minallah dan hablum minannas. Hablum minallah ketaatan dan amalan yang berdimensi langsung kepada Allah SWT, dan hablum minannas ketaatan dan amalan yang berimplikasi dan berdimensi kepada sesama manusia, bisa saudara, tetangga, sahabat dan orang-orang yang ada disekitar kita.
 wallahualam bishawab
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar