Senin, 24 Februari 2014

Fatamorgana Dunia



(Ilustrasi : cdn.angiesdiary.com)


Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

Fatamorgana sering diartikan sebagai sesuatu yang bersifat fantasi dan ilusi, ibarat seseorang yang tersesat dipadang pasir, kelelahan dan kehausan, kemudian tiba-tiba dia melihat mata air yang jernih, rasa haus dan lelah membuatnya ingin segera menghampiri mata air itu, tetapi setelah sampai, mata air itu seolah-olah lenyap dari pandangan mata. Ya, itulah fatamorgana, hanya ilusi dan fantasi yang menipu. Sama halnya dengan dunia, penuh fatamorgana ilusi dan fantasi.
Terkadang sebagai manusia kita dihinggapi dengan rasa lelah, bosan dan jenuh. Hati terasa kering, bangunan iman pun rontok satu persatu, sampai-sampai ibadah pun menjadi tiada makna yang menyejukan, hanya sebatas ritual yang membosankan.
Salah satu virus yang menggerogiti hati dan iman kita sehingga perasaan lelah, bosan dan jenuh adalah virus dunia. Kita seringkali berharap sesuatu tetapi sesuatu yang diharapkan itu tak kunjung datang, sampai-sampai seorang manusia merasa hidupnya tertahan pada satu titik. Ada yang ingin punya jodoh, punya anak, punya gelar, jabatan,  punya pekerjaan, penghasilan tetap, punya rumah, motor dan mobil dan berbagai persoalan dunia lainnya. Apalagi manusia kini berada dalam abad modern, abad ditemukan berbagai teknologi canggih, abad dimana keindahan dan pernak-pernik dunia menjadi etalase yang jamak kita temui sehari-hari. Bangunan megah hampir berdiri ditiap sudut kota, pusat perbelanjaan yang menawarakan berbagai rupa barang, kendaraan mewah hilir mudik dijalanan dan rumah-rumah cantik  setiap hari dibangun. Semua pernak-pernik itu bisa menjadi fatamorgana dunia yang memicu syahwat manusia untuk memilikinya.
Sebagai seorang muslim, ketika fatamorgana dunia itu menghampirinya tentunya kita harus mempunyai tameng atau rem yang akan mencegah kita dari rasa berputus asa. Kembali kepada apa yang diwahyukan Allah SWT dalam Al-Quran dan apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW adalah kunci jawaban dari segala persoalan fatamorgana dunia. Kesabaran seorang manusia dalam menghadapi fatamorgana dunia sehingga mencapai derajat istiqomah, tawakal, kona’ah atau zuhud tidak mungkin bisa dicapai tanpa mempelajari, memahami dan mengimani Al-Quran dan Hadist, karena itulah sumber atau inti ajaran Islam.
Kita diingatkan oleh sebuah hadist yang bisa menjadi tameng dan rem dari fatamorgana dunia, “Barangsiapa yang menjadikan dunia ambisinya, niscaya Allah cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran (kemiskinan) menghantui kedua matanya dan Allah tidak memberinya harta dunia kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya” (HR. Ibnu Majah 4095). 
Dan ingatlah janji Allah ketika seorang manusia  mampu menguasai fatamorgana dunia dengan mengubah pandangan keduniaan menjadi tujuan akhirat, “ Dan barangsiapa menjadikan akhirat keinginan (utamanya), niscaya Allah akan kumpulkan baginya urusan hidupnya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya (dengan tunduk)” (HR. Ibnu Majah 4095).
Wallahualam bishawab


Empat Pertanyaan Sang Imam


(Ilustrasi : thesufi.com)


 Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

Pada suatu ketika Imam Ghazali menyampaikan beberapa pertanyaan kepada murid-muridnya. Pertanyaan-pertanyaan itu sangat sederhana tetapi dari pertanyaan itu munculah jawaban yang syarat akan ilmu, syarat akan perenungan dan motivasi. Mari kita merenungi pertanyaan dan jawaban Sang Imam, barangkali dari empat pertanyaan Sang Imam, kita bisa bermuhasabah.
Sang Imam bertanya, “apa yang paling besar didunia ini?’. Kalau kita menganggap yang paling besar didunia ini adalah gunung, matahari, atau lautan, ternyata salah. Sang Imam menjawab, yang paling besar dibumi adalah “hawa nafsu”. Ya, hawa nafsu! Terkadang hawa nafsu-lah yang selalu menguasai hati dan diri manusia, hawa nafsu-lah yang membuat hati merasa selalu kurang, merasa selalu ingin lebih. Sepanjang manusia hidup, hawa nafsu dalam diri manusia akan selalu bercokol. Hawa nafsu akan menggiring manusia pada dosa dan maksiat. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Q.S. Al-Furqon 43.)
Pertanyaan kedua Sang Imam, “apa yang paling berat didunia?”. Kalau kita menganggap yang paling berat didunia baja, besi, atau gajah, ternyata salah, Sang Imam menjawab yang paling berat didunia ini adalah “amanah”. Kedudukan amanah sangat berat perhitungannya, oleh sebab itu orang yang selalu menyalahgunakan amanah disebut dengan orang munafik. Salah satu amanah yang paling besar pertanggungjawabannya dihadapan Alloh SWT adalah amanah kepemimpinan, maka sungguh ironis bila sekarang ini orang-orang berebut ingin menjadi pemimpin, pejabat atau wakil rakyat, padahal ketiga jabatan itu adalah amanah yang paling besar pertanggung-jawabannya. Bisa dibayangkan bila amanah kepemimpinan diemban, tetapi amanah itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Dari Abu Dzar dia berkata, saya bertanya kepada Rasululloh, “wahai Rasululloh apakah anda tidak hendak mengangkatku suatu jabatan pemerintahan?”. Lalu beliau menepuk bahuku seraya berkata, “ hai Abu Dzar sesungguhnya engkau ini lemah dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah , yang pada hari kiamat kelak dipertanggung-jawabkan dengan resiko penuh kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang-orang yang memenuhi syarat dan melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik”. (H.R Muslim).
Pertanyaan ketiga Sang Imam, “apa yang paling ringan didunia ini?”. Kalau kita menganggap jawabannya itu adalah kapas, debu, angin, atau daun, jawabannya salah. Sang Imam menjawab bahwa yang paling ringan didunia ini adalah “meninggalkan sholat”. Terkadang kesibukan dan kelelahan selalu dijadikan pembenaran manusia untuk meninggalkan atau mengakhirkan waktu sholat. Pekerjaan atau kelelahan dianggap sebagai sesuatu hal yang berat yang meringankan ibadah sholat. angin atau daun. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Pertanyaan terakhir sang imam, “apa yang paling tajam didunia ini?”, Pedang, silet dan belati adalah jawaban yang tidak tepat, sebab Sang Imam menjawab, bahwa yang paling tajam didunia ini adalah “lidah manusia”. Pepatah mengatakan “lidah tak bertulang”. Lidah adalah sebuah simbolisasi dari lisan atau ucapan manusia. Lisan adalah salah satu sumber pahala, tetapi lisan juga bisa menjadi sumber petaka baik bagi orang lain ataupun diri sendiri. Lisan bisa menunjukan kalau hati kita mengidap “penyakit”. Ungkapan iri, dengki, hasud, fitnah, ghibah atau marah bisa terucap dari lisan. Dan tidakkah nanti seseorang akan diseret ke neraka
dengan wajah-wajah mereka (di tanah), terkecuali itu karena ulah lidah-lidah
mereka
“ (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).
wallahualam bishawab

Dimensi Sedekah Dalam Kekayaan


(Ilustrasi  : riyadhohayatkursi.wordpres.com)
  
Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya

 
 “saya datang kepada Nabi SAW dan sedang membaca ayat yang artinya: “engkau semua dilalaikan oleh perlombaan memperbanyak kekayaan”, lalu beliau bersabda: “Anak adam itu berkata, “hartaku, hartaku! Padahal harta yang benar-benar menjadi milikmu itu hai adam, ialah (1) Apa-apa yang engkau makan lalu engkau habiskan, (2) Apa-apa yang engkau pakai lalu engkau rusakan, atau (3) apa-apa yang engkau sedekahkan lalu engkau lampaukan dengan tetap adanya pahala” (Riwayat Muslim No. 5258).
Para pembaca, mari merenungi hadist diatas, secara jelas dalam matan hadits ini menggambarkan bahwa dari apa-apa yang kita kumpulkan, dari kekayaan pribadi yang kita hitung hanya  dua (makanan dan pakaian) yang mempunyai nilai sebagai penunjang kehidupan kita dan satu (sedekah) sebagai benih yang bisa kita ambil buah pahalanya di akhirat kelak, yakni sedekah.
Apa-apa yang kita makan dan apa yang kita pakai adalah aspek penunjang agar manusia bisa terus hidup, ini adalah fitrah manusia, kebutuhan manusia yang memang harus dipenuhi, karena struktur tubuh manusia, didalamnya terdapat organ-organ yang harus terus menerus mendapatkan suplai makanan yang akan diubah menjadi energi untuk aktifvitas manusia. Begitupun juga dengan pakaian, kebutuhan manusia untuk merespon sifat malu (aurat), malu dalam hal menutupi bagian-bagian tubuh yang tidak mau diperlihatkan kepada orang lain, juga sebagai aspek kebutuhan untuk melindungi tubuh manusia dari rasa dingin atau panas.
Dari kedua aspek pemenuhan kebutuhan manusia itu tadi, kita diingatkan dalam matan hadist tersebut, bahwa ada satu aspek yang membuat batasan agar manusia tidak makan berlebihan, melebihi pokok kebutuhan dasar manusia. Begitu juga dengan apa-apa yang kita pakai, memakai hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, bukan memakai untuk memuaskan rasa gengsi. Baju untuk menutupi, bukan untuk pamer mode, apalagi menyelisihi syariat dengan membuka aurat. Satu aspek itu adalah sedekah.
Dengan sedekah, setidaknya kita sadar bahwa masih banyak orang-orang yang standar hidupnya jauh dibawah kita, makannya dan apa-apa yang dipakainya. Dengan sedekah seharusnya kita membuat garis batas yang memutus mata rantai masuknya syahwat, hawa nafsu manusia dalam hal makanan dan pakaian, tidak berlebihan.
Jadi, kekayaan, apa-apa yang kita kumpulkan dan hitung, ternyata hanya tiga aspek yang kemudian dibagi menjadi dua dimensi yang bermanfaat bagi kita, dimensi pertama, makanan dan pakaian yang hanya berdimensi duniawi dan dimensi kedua adalah sedekah yang berdimensi akhirat. Itulah yang disebut rejeki, sedangkan sisa  kekayaan yang lain adalah harta yang belum tentu kita miliki sepenuhnya, karena harta bisa ditinggalkan karena kematian, hilang karena dicuri, dirampok, kebakaran, atau rugi karena tertipu.
wallahualam bishawab

Berani Jujur, Hebat!



 (Ilustrasi : lesprivatlira.com)

Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya
 
Berani jujur, hebat! Itulah slogan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terpampang besar digedung KPK. Dari slogan ini, sebetulnya kita bisa melihat gambaran bahwa betapa besarnya persoalan yang kita hadapi sekarang ini menyangkut Kejujuran manusia-manusia Indonesia. Kalau kita telaah akar dari keterpurukan bangsa ini adalah fenomena penyakit ketidakjujuran. Korupsi entah itu suap, manupulasi, penggelembungan anggaran, pemotongan anggaran adalah muara besar persoalan bangsa dari sumber yang sama, yakni ketidakjujuran.
            Dalam Islam, kejujuran merupakan buah daripada iman dan ketauhidan, maka dari itu derajat dari sifat orang yang jujur mendapat tempat yang tinggi dalam pandangan Islam, sekaligus juga mendapat pahala yang besar. Inilah bentuk penghargaan Allah SWT terhadap orang-orang yang jujur, tetapi sebaliknya, orang yang tidak jujur diberi gelar munafik, gelar yang merendahkan bagi pelakunya. Setidaknya ada tiga ciri orang munafik. Bila berbicara selalu berbohong, bila berjanji selalu diingkari, dan bila diberi amanah selalu khianat.
            Ketika Islam memandang perkara kejujuran ini sebagai patokan penting dalam ajaran agama, tentunya hal ini akan berdampak besar pada tatanan kehidupan manusia, khususnya tatanan moral-sosial didalam kehidupan masyarakat. Kalau kita renungkan Indonesia, dengan segala persoalan dan keterpurukannya sekarang ini, merupakan akibat dari sebab-sebab yang memicunya, salah satu yang terbesar adalah fenomena ketidakjujuran kolektiv, dari pejabat hingga rakyat jelata. Secara kolektiv, ketidakjujuran akan berdampak pada hancurnya nilai-nilai moral, bila nilai-nilai moral sudah tidak lagi dilihat sebagai ukuran dalam suatu bangsa, maka sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan negara akan keropos. Untuk itulah, kenapa saat ini kejujuran merupakan barang yang langka, sesuatu yang sulit dicari karena manusia sudah tidak lagi memperhitungkan dosa-pahala, tertutupi oleh penyakit Wahn, cinta dunia dan takut mati.
            Sebagai teladan kejujuran, perlulah kita mencontoh Nabi Muhammad SAW  yang terkenal dengan sifat ash-shadiqul amin (jujur dan terpercaya)  karena kejujurannya sifatnya.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Wajib atas kalian semua untuk jujur, karena jujur akan membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga. Seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta akan membawa kepada keburukan, dan keburukan akan menyeret ke neraka. Seorang hamba senantiasa berdusta, dan dia memilih kedustaan, sehingga ditulis di sisi Allah sebagi pendusta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Akhir kata, marilah kita kembali kepada diri masing dalam usaha untuk meraih kedudukan tinggi karena sifat jujur, bila jadi pejabat jadilah pejabat yang amanah, bila pedagang/pebisnis jadilah pedagang/pebisnis yang jujur dengan timbangan, ukuran, kualitas dan hitung-hitungan nilai barang, bila pekerja kantoran jadilah pekerja yang tidak tergoda untuk menyalahgunakan wewenang, bila pengajar jadilah pengajar yang jujur untuk mengatakan yang haq adalah haq dan bathil adalah bathil, dan jujur dengan keterbatasan ilmunya. Semua profesi tentunya perlu kejujuran.
wallahualam bishawab