(Ilustrasi : nurlienda.wordpress.com)
Oleh : RSP With Darrel Kara Danadyaksa Putra
“mudah-mudahan
sing barokah”, itulah ungkapan yang sering diucapkan orang ketika mendapat
rezeki. Kebanyakan orang memaknai berkah dengan sesuatu yang bersifat berlipat
ganda secara nilai, padahal bila merujuk pada pengertian utuh, “berkah”
memiliki dimensi yang sangat luas. Dimensi-dimensi berkah berkaitan dengan
segala aspek ketauhidan serta hukum-hukum syar’i, karena “keberkahan” dari
setiap rezeki tidak bisa dilepaskan dari syarat dan hukum-hukum syar’i mengenai
bagaimana mendapatkan rezeki yang baik menurut ajaran Islam. Disamping itu,
makna “berkah” juga sangat berkaitan dengan dimensi keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT, karena seseorang yang dibentengi dengan keimanan dan
ketakwaan tentunya akan berpikir seribu kali bila harus mendapatkan rezeki
dengan cara yang diharamkan oleh Allah lewat hukum-hukum syar’i.
Pengertian
secara bahasa, “al-barakah” berarti
berkembang, bertambah dan bahagia (Al-Misbah
al-Munir oleh al-Faiyyumi 1/45, al-Qamus al-Munith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur 10/395). Sama halnya dengan pengertian secara bahasa,
dalil-dalil dalam Al-Quran dan as-Sunnah memiliki pengertian yang sama. Tetapi
“berkembang, bertambah” dalam pengertian baik itu secara bahasa ataupun makna
dalil dalam Al-Quran dan as-Sunnah tidak boleh dipahami secara rill karena
makna “berkembang, bertambah dan bahagia” memiliki dimensi yang tidak terbatas
yang akan dialami oleh setiap manusia. Bila saja ada seorang yang kaya,
rezekinya mengalir dari mana saja karena memiliki berbagai perusahaan, tiap
tahun bertambah dan berkembang, tetapi pertanyaannya apakah dia bahagia dengan
harta yang terus berkembang dan bertambah?. Kalau kemudian si kaya raya tersebut
memiliki penyakit yang membuat dirinya tidak memikmati kekayaannya, kalau si
kaya raya tersebut memilik anak yang durhaka, nakal, selalu berfoya-foya dengan
harta orang tuanya dan selalu melawan pada
orang tuanya, atau karena terlalu sibuk mengurus berbagai perusahaannya
si kaya raya tersebut hari-harinya selalu resah, galau dan banyak pikiran
sehingga secara tidak sadar si kaya raya tersebut tidak sempat menikmati
kebahagiaan dari harta-hartanya itu. Maka dari kasus ini kita bisa melihat
bahwa bertambahnya harta dan berkembangnya harta tidak ada korelasinya dengan
kebahagiaan seseorang.
Lalu
kemudian bandingkan dengan kisah seorang pedagang kaki lima yang penghasilannya
kecil tetapi kehidupannya tenang, bisa menikmati apapun karena tidak punya penyakit,
anak-anaknya menjadi pribadi yang taat. Usahanya yang sederhana tidak membuat
banyak aktifitas dan pikiran, rezeki yang dihasilkan cukup untuk menafkahi anak
dan istrinya, walaupun tidak banyak sisa untuk ditabung, si pedaganng tersebut
sudah merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika mendapatkan keuntungan yang
cukup dari hasil dagang untuk diberikan kepada anak istrinya dirumah. Setiap
malam menikmati waktu senggang dengan segelas kopi dan dan singkong goreng.
Kalau
kita bandingkan kedua kisah diatas, kita bisa melihat gambaran bagaimana
sebenarnya implementasi “barokah” yang sesungguhnya. Berkembang dan
bertambahnya harta tidak selalu identik dengan “kebarokahan”, tetapi berkembang
dan bertambah memiliki dimensi atau ujung pangkal yang lain yakni kebahagiaan.
Untuk itu marilah kita kekang ambisi untuk mendapatkan harta yang melimpah,
ambisi yang tidak terkontrol akan membuat orang berusaha dengan berbagai cara,
korupsi, suap, menipu, memanipulasi adalah sedikit contoh usaha yang menambah
harta tetapi menghilangkan kebarokahannya karena usahanya melanggar hukum-hukum
Allah. Jadilah seperti si pedagang kaki lima, tidak ambisi, usahanya halal
tetapi berkembang dan bertambah dengan kebahagiaan dan ketenangan jiwa, itulah
“barokah”.
Wallahualam
bishawab