Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya
Bila sebelumnya penulis menulis tentang
fatamorgana dunia yang bersifat ilusi, fantasi dan menipu manusia. Dalam
tulisan ini penulis mencoba membawa istilah “fatamorgana” kedalam proses atau
perjalanan manusia ke alam keabadian, yakni akhirat. Akhirat adalah titik akhir
perjalanan manusia, kehidupan yang sebenarnya dari setiap manusia. Bagi
orang-orang beriman yang mengerti akan hakikat penciptaannya, akan menyadari
bahwa dunia hanya persinggahan sementara dalam mencari bekal kemudian tinggal
menunggu waktu, dijemput oleh malaikat maut menuju yaumul hisab, yakni hari dimana diperhitungkannya amalan tiap-tiap
manusia, hari penentuan apakah seorang manusia menjadi ahli surga atau ahli
neraka. Maka dari itu orang-orang beriman akan selalu melakukan
ketaatan-ketaatan, amalan-amalan yang akan mengisi catatan amalnya dengan
pahala kebaikan, tetapi jangan sampai menjadi fatamorgana pahala.
Bila
pembaca lupa dengan pengertian fatamorgana, fatamorgana merupakan sesuatu yang
bersifat angan-angan, harapan, fantasi, ilusi bahkan menipu. Dalam hal ini,
tentunya pahala kebaikan dari setiap ketaatan dan amalan akan menjadi harapan
bahwa pahala dari amalan-amalan tersebut akan membawa dirinya pada keselamatan
di akhirat. Tetapi kita sebagai manusia
yang punya kelemahan, punya fitrah yang membawa kecenderungan yang besar
terhadap pemuasan hawa nafsu, dan rentan menjadi objek tipu daya setan harus wasapada, harus muncul sikap kritis
terhadap diri kita sendiri, sehingga muncul sebuah pertanyaan, apakah ketaatan-ketaatan dan amalan-amalan saya
selama ini dikerjakan akan menjadi pahala, apakah akan diterima oleh Allah SWT
sebagai catatan baik saya? Pertanyaan ini akan membawa kita pada sikap muhasabah, introspeksi diri sehingga
akan membawa pada sikap hati-hati dalam melakukan ketaatan dan amalan-amalan.
Kehati-hatian
dalam melakukan setiap ketaatan terhadap Allah SWT dan amalan-amalan kebaikan
akan memunculkan bebetapa pertanyaan lagi, apakah sholat saya ini diniatkan
dengan hati yang ikhlas? Apakah sholat
saya ini ada korelasinya dengan kesalehan sosial? Apakah sholat saya ini
membangkitkan sifat santun, murah senyum, sikap rendah hati terhadap orang
lain? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih peka terhadap kesulitan atau
penderitaan yang dialami oleh orang lain? Apakah sholat saya ini membuat saya
lebih mudah bersedekah? Apakah sholat saya ini membuat saya lebih meninggalkan
dunia?, atau Apakah sedekah saya ini
tidak diikuti dengan sikap riya? Apakah sedekah saya ini ikhlas semata-mata
untuk penilaian Allah atau hanya mengejar penilaian manusia semata? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan membuat
kita hati-hati akan tipu daya setan.
Tidak
sedikit orang yang merasa sudah sangat cukup akan pahalanya, merasa puas dengan
ketaatan dan amalan-amalan baiknya, bahkan merasa bangga dengan predikat orang
yang taat dan alim yang melekat pada dirinya, sehingga cenderung menyepelekan
ketaatan dan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang lain. Padahal bukan tidak
mungkin ketaatan tersebut tidak membuahkan pahala karena mungkin sholatnya
tidak punya korelasi dengan kesalehan sosialnya, sholatnya tidak membuat sikap
egois dan sombongnya hilang, sholatnya tidak membuat sifat kikir dan bakhil-nya hilang, sholatnya tidak
membuat hatinya peka terhadap kesulitan dan penderitaan saudaranya atau
tetangganya, sholatnya tidak membuat dirinya menjadi ahli sedekah, sholatnya
tidak meenjauhkannya dari keduniaan, justru semakin mendekati dunia, dan sedekahnya
masih “haus” akan penilaian dan pujian manusia. Maka inilah yang dimaksud
dengan fatamorgana pahala.
“katakanlah, “apakah akan kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS
al-Kahfi 103-104).
Ayat ini memberikan
peringatan bagi kita, bahwa setiap ketaatan dan amalan harus mempunyai nilai
dihadapan Allah SWT, bukan nilai dihadapan sesama mahkluk. Setiap ketaatan dan
perbuatan yang kita anggap akan mendatangkan pahala, harus punya implikasi atau
dampak terhadap kehidupan sosial, karena ketataan dan amalan dalam ajaran Islam
mempunyai dua dimensi, yakni hablum
minallah dan hablum minannas. Hablum minallah ketaatan dan amalan yang
berdimensi langsung kepada Allah SWT, dan hablum
minannas ketaatan dan amalan yang berimplikasi dan berdimensi kepada sesama
manusia, bisa saudara, tetangga, sahabat dan orang-orang yang ada disekitar kita.
wallahualam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar