(Ilustrasi : ahmadmuaiminalfarisy.wordpress.com)
Setiap orang tua tentunya mendambakan
anak-anaknya berpendidikan tinggi, memiliki banyak ilmu dengan harapan ilmu
yang diperoleh si anak dapat menunjang masa depannya. Tak jarang, demi
menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi, orang tua rela
banting tulang, menyisihkan sebagian besar pendapatannya untuk menabung dengan
mengurangi kebutuhan pokok, bahkan terkadang orang tua rela pontang-panting kesana-kemari
mencari pinjaman untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Bangga rasanya,
ketika orang tua melihat anak-anaknya menggunakan seragam Toga dalam Wisuda,
berharap gelar sarjana yang disandangnya dapat menjadi bekal yang dapat
menjamin kehidupan anak dan keluarganya di masa depan. Bahkan bagi orang tua
yang tergolong mampu, tak sedikit yang memfasilitasi anak-anaknya untuk
mengikuti berbagai macam les, seperti les bahasa inggris, les berenang, les
bermain piano dan berbagai macam sarana
penunjang pendidikan dengan harapan dapat membangkitkan potensi dan bakat si
anak.
Tetapi, dijaman ini,
dimana segala sesuatu dicapai berdasarkan ukuran materi, maka orientasi
pendidikan, atau orientasi dalam proses mencari ilmu pun ikut berubah.
Pendidikan atau proses pencarian ilmu kini dimaknai kemanfaatannya hanya
sebatas proses untuk mendapatkan cita-cita duniawi. Jika orang tua ditanya,
“untuk apa mereka rela berkorban demi membiayai pendidikan anak-anaknya”,
pastilah jawaban klasik yang keluar adalah “agar kelak masa depan anak-anaknya
lebih baik dari orang tuanya, agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, agar
bisa meningkatkan taraf ekonomi dan kehormatan keluarganya” . itulah ukuran
ilmu sekarang.
Banyak dari kita yang
lupa, bahwa hakekat ilmu seharusnya jauh melintasi ukuran-ukuran dunia, lalu
bagaimana kita memandang ilmu berdasarkan kemanfaatan sejati yang akan
mengantarkan seorang anak menjadi anak yang punya moral, punya iman, anak yang
teguh dalam prinsip-prinsip dan ajaran agama, anak yang mempunyai budi pekerti
atau akhlak yang baik karena orang tuanya istoqomah
mendorong anak-anaknya untuk mau tekun belajar agama disamping mempelajari
ilmu-ilmu dunia. Padahal hakekat sejati kebanggaan orang tua kepada sang anak
adalah kebanggaan dimana anak-anaknya kelak menjadi anak yang soleh/solehah,
anak-anak yang dihormati oleh orang lain, tetangga-tetangganya karena keluhuran
ilmu agama dan ke-istiqomahannya
dalam tataran praktenya dan kesungguhannya dalam mengamalkan ilmunya, bukan
dihormati karena kekayaan dan jabatannya.
“Ya Allah, berilah aku manfaat dari
ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang
bermanfaat bagiku dan tambahkanlah untukku ilmu. Segala puji bagi Allah atas
setiap keadaan dan aku berlindung kepada Allah dari keadaan penduduk neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 3599). Hadist
ini mengingatkan kita bahwa pada hakekatnya ilmu harus punya manfaat, manfaat
dalam pengertian bahwa ilmu tidak hanya didudukan sebagai jalan untuk mengejar
ambisi-ambisi atau cita-cita keduniaan yang bersifat pribadi, tetapi ilmu harus
berbanding lurus dengan kemanfaatan sosial, dimana ilmu agamalah yang akan
menjadi penyeimbang, sehingga titik keseimbangan ketika ilmu bermanfaat bagi
kehidupan dunia, dan juga bermanfaat dikehidupan akhirat kelak.
wallahualam
bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar