(Ilustrasi : riyadhohayatkursi.wordpres.com)
Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya
“saya datang kepada Nabi SAW dan
sedang membaca ayat yang artinya: “engkau semua dilalaikan oleh perlombaan
memperbanyak kekayaan”, lalu beliau bersabda: “Anak adam itu berkata, “hartaku,
hartaku! Padahal harta yang benar-benar menjadi milikmu itu hai adam, ialah (1)
Apa-apa yang engkau makan lalu engkau habiskan, (2) Apa-apa yang engkau pakai
lalu engkau rusakan, atau (3) apa-apa yang engkau sedekahkan lalu engkau
lampaukan dengan tetap adanya pahala” (Riwayat Muslim No. 5258).
Para pembaca, mari merenungi hadist diatas, secara jelas dalam matan hadits
ini menggambarkan bahwa dari apa-apa yang kita kumpulkan, dari kekayaan pribadi
yang kita hitung hanya dua (makanan dan
pakaian) yang mempunyai nilai sebagai penunjang kehidupan kita dan satu
(sedekah) sebagai benih yang bisa kita ambil buah pahalanya di akhirat kelak,
yakni sedekah.
Apa-apa yang kita makan dan apa yang kita pakai adalah aspek penunjang agar
manusia bisa terus hidup, ini adalah fitrah manusia, kebutuhan manusia yang
memang harus dipenuhi, karena struktur tubuh manusia, didalamnya terdapat
organ-organ yang harus terus menerus mendapatkan suplai makanan yang akan
diubah menjadi energi untuk aktifvitas manusia. Begitupun juga dengan pakaian,
kebutuhan manusia untuk merespon sifat malu (aurat), malu dalam hal menutupi
bagian-bagian tubuh yang tidak mau diperlihatkan kepada orang lain, juga
sebagai aspek kebutuhan untuk melindungi tubuh manusia dari rasa dingin atau
panas.
Dari kedua aspek pemenuhan kebutuhan manusia itu tadi, kita diingatkan
dalam matan hadist tersebut, bahwa ada satu aspek yang membuat batasan agar
manusia tidak makan berlebihan, melebihi pokok kebutuhan dasar manusia. Begitu
juga dengan apa-apa yang kita pakai, memakai hanya untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia, bukan memakai untuk memuaskan rasa gengsi. Baju untuk menutupi,
bukan untuk pamer mode, apalagi menyelisihi syariat dengan membuka aurat. Satu
aspek itu adalah sedekah.
Dengan sedekah, setidaknya kita sadar bahwa masih banyak orang-orang yang
standar hidupnya jauh dibawah kita, makannya dan apa-apa yang dipakainya.
Dengan sedekah seharusnya kita membuat garis batas yang memutus mata rantai
masuknya syahwat, hawa nafsu manusia dalam hal makanan dan pakaian, tidak
berlebihan.
Jadi, kekayaan, apa-apa yang kita kumpulkan dan hitung, ternyata hanya tiga
aspek yang kemudian dibagi menjadi dua dimensi yang bermanfaat bagi kita,
dimensi pertama, makanan dan pakaian yang hanya berdimensi duniawi dan dimensi
kedua adalah sedekah yang berdimensi akhirat. Itulah yang disebut rejeki,
sedangkan sisa kekayaan yang lain adalah
harta yang belum tentu kita miliki sepenuhnya, karena harta bisa ditinggalkan
karena kematian, hilang karena dicuri, dirampok, kebakaran, atau rugi karena
tertipu.
wallahualam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar