(Sumber Gambar : timelive.co.za)
Oleh : RSP/Jama'ah Mesjid Agung Tasikmalaya
Rasulululloh SAW bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan
surga bagi orang kafir”. Sabda Rasululloh SAW ini menyiratkan akan sifat
dunia dalam penilaian Alloh SWT. Dewasa ini, sebagian besar manusia, khususnya
umat muslim telah disibukan dalam mencari karunia Alloh SWT, yaitu rezeki.
Semakin ketat kompetisi dalam mencari penghidupan di bumi Alloh yang maha luas
ini. “ingin sukses, ingin sejahtera dan ingin kaya” telah menjadi kata kunci
bagi setiap orang. Mencari karunia Alloh SWT berupa rezeki atau harta dunia
tidaklah salah, namun yang menjadi salah adalah ketika muamalah tersebut telah menjadi orientasi dominan jalan hidup manusia,
dan pikiran-pikirannya telah dipenuhi urusan-urusan dunia. Bila pikiran dan
hati kita sudah didominasi oleh syahwat dunia, maka dunia seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang abadi
yang jauh dari kefanaan, maka terpaparlah kita dengan penyakit hubud dunya, cinta dunia dan isinya,
lupa akan akhirat. Salah satu ciri penyakit hubud
dunya adalah dengan memisahkan status antara kefakiran dan kekayaan. Ketika
menganggap kefakiran, kemiskinan dan kesempitan harta adalah ujian dan aib yang
nista dan kekayaan adalah semata-mata rahmat dan keagungan. Padahal baik itu
kefakiran dan kekayaan kedua-duanya adalah bentuk ujian Alloh kepada setiap
manusia.
Agar
kita tidak terpapar oleh penyakit hubud dunya, maka perlulah kita
mengevaluasi orientasi kehidupan kita, menelaah kembali hakekat keberadaan
manusia dimuka bumi, hakekat penciptaan manusia, dan hakekat penciptaan langit
dan bumi beserta isinya (harta) oleh Alloh SWT. Bagaimana kita memandang dunia
dan seluruh isinya (harta) adalah langkah awal dalam memahami kehidupan guna
mencapai derajat taqwa, mencapai tingkatan yang disebut dengan zuhud, kona’ah dan tawakal, sehingga terjadi dis-orientasi tujuan hidup, dari
pandangan dunia menjadi pandangan akhirat. Ketika hati dan pikiran kita telah
tersentuh oleh sifat zuhud. kona’ah
dan tawakal, maka sekalipun kefakiran
menjadi kehendak Alloh SWT dalam menguji seorang manusia, maka kefakiran itu
tidak menjadikan dirinya berkeluh kesah, resah, khawatir, perasaan sempit,
bahkan marah dan gusar terhadap takdir Alloh SAW, tetapi kefakiran akan
senantiasa menjadi sarana dan media dalam mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya.
Sebagaimana
yang ditulis dalam kitabnya yang diberi nama Ad-Da’wah at-Tammah Wa at-Tadzkirah ‘Ammah, Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, ulama Tasawuf
terkemuka abad ke-12 H, membagi manusia dalam menerima kefakiran menjadi 3
golongan, pertama, mereka yang lari
dari dunia, walaupun disodorkan dengan cara yang halal dan bersih. Kedua, golongan manusia yang tidak lari
dari dunia ketika dunia menyodorkan diri dan mendatangi mereka, namun mereka
mengambil dan membagikannya kepada orang yang membutuhkannya, dan ketiga, adalah golongan manusia yang
mencari dan berusaha mendapatkan dunia tetapi hal itu tidak bernilai bagi
mereka.
Ketiga
golongan manusia tersebut adalah golongan yang menyadari betul betapa rendahnya
kedudukan dunia dalam pandangan Alloh SWT, walaupun dengan segala isinya.
Sifat-sifat tersebut telah menjadi teladan agung yang diprakatekan oleh
Rasulluloh SAW, para Sahabat, Tabi’in,
dan Tabi’in tabi’ut dan para ulama
generasi sesudahnya. Sabda Rasululloh SAW, “barangsiapa
rela atas rezeki yang sedikit dari Alloh, maka Alloh akan merelakan darinya
amal yang sedikit”.
Wallahualam
bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar